Pagi ini semesta rasa masih menyenandungkan dayu notasi rindu dari dawai kehilangan. Aku sedih. Sudah tidak bisa lagi mendengar sahutan ketika kusapa nama indahmu. Aku berharap, kita tetap merdu meski hanya detak sumbang milikku yang menyuarakan cinta.
Aku iri. Tepatnya benci.
Iya, aku membenci mereka yang menyia-nyiakan temu. Padahal jarak begitu dekat.
Kadang aku berfikir Tuhan itu jahat. Bercandanya suka kelewat. Kenapa mereka yang menyia-nyiakan temu dibiarkan tetap bersama? Tidak tahukah mereka bagaimana rasanya ketika ingin bertemu, dan yang kau peluk hanya papan nisan?
Aku menjerit. Aku terbius pada terang, merenggang harap pada kebisuan. Betapa bangkainya perpisahan.
Aku selalu ingin mengutuk mereka yang mengabaikan keadaan pasangannya. Yang di dalam hatinya bosan menanyakan “bagaimana kabarmu?”. Padahal tiada yang lebih melegakan selain tahu keadaan masing-masing.
Aku pernah ingin membongkar makam seseorang. Bukan karena tidak ikhlas, tapi hanya karena ingin memastikan bahwa dia baik-baik saja.
Aku benci mereka yang telah menyia-nyiakan kesempatan berbagi cerita. Padahal bibir masih mampu bersuara. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya berbicara, bercerita, dan tertawa di depan onggokan tanah dan tentu saja sia-sia.
Aku tidak benar-benar gila jika sekedar berbicara, bercerita, dan tertawa pada nyata yang entah, bukan?
(ada sepi di hatiku saat kudamba tubuhmu yang kini sudah sempurna menjadi kerangka)
MEL
PENULIS:
MAHASISWI
AGE: UNKNOWN
MAHASISWI
AGE: UNKNOWN
loading...