Di Angka Dua Belas



Botol itu berputar cepat secepat sepoian angin malam yang menerpaku hingga berdiri bulu romaku, putarannya tampak mantap di meja kayu berwarna cokelat itu. Lalu...

“Yak, Rena”
“Ayo, yang mau bertanya?” Dipta nampaknya senang sekali botol itu berhenti dan mengarah padaku.
“Apakah kau pernah patah hati?” Derry memberikan pertanyaan pertama bagiku sedangkan botol penentu itu sudah berputar lebih dari tiga kali.

Aku diam sejenak, berpikir. Haruskah aku menjawab pertanyaan yang menohok hati ini? Aku merasakan ada awan kecil yang berada diatas kepalaku dan mengisahkan disaat aku pilu menahan rasa perih karena hatiku telah patah. Aku menghela napas cukup panjang, menahannya beberapa saat kemudian perlahan rongga hidungku menghembuskannya.

“Bila ditanya apakah aku pernah patah hati, jawaban yang paling tepat untuk hatiku adalah seringkali.” Jawabku dengan mimik sendu bercampur serius.

Tak ada suara yang menanggapi jawabanku, semua sunyi. Bahkan Dipta yang sedari tadi berseringai dengan leluconnya pun turut bungkam seribu bahasa di tempat duduknya. Aku menatap ketiga temanku bergantian. Derry yang menatapku sesaat kemudian tertunduk lesu, Dipta memainkan sendok ice creamnya dan Nita yang berada di sebelahku pun turut diam saja.

“Hey, kenapa pada diam semua sih?” Aku membongkar kesepian diantara kita berempat.
“Habis, jawabanmu galau amat.” Akhirnya Dipta mengoceh
“Aku hanya menjawab apa adanya saja kok.”
“Ya, sudahlah. Apa ada pertanyaan yang lain buat Rena?” Nita ikut andil memecah diamnya sendiri.
"Okey deh, nggak ada lanjut saja.” Dipta mengambil botol yang turut diam dan bersiap memutarnya.
“Siapa saja yang telah membuatmu patah hati?” Tiba-tiba Derry melontarkan pertanyaan namun dengan kepala tetap tertunduk

Dipta yang sudah bersiap memutar botolnya kembali, mengurungkan niatnya dan meletakkan kembali botol itu di meja. Aku menoleh pada Nita dan Nita pun menoleh padaku, kami menampakkan mimik heran dan mimik bertanya.

“Kenapa? Apa perlu diulang pertanyaanku?” Muka Derry benar-benar seperti polisi yang sedang menginterogasi tersangka perampokan.

Aku masih diam dalam keheranan.

“Kamu kenapa sih Der? Kok gitu banget nanyanya? Santai aja lah mas bro.” Dipta mencoba mencairkan suasana yang mendadak tegang.

“Kenapa emang? Aku biasa aja kok.”

Dipta menatapku dan kepalanya mengisyaratkan padaku untuk segera menjawab pertanyaan dari Derry. Aku masih berpikir, rasanya tak perlu ku ungkap semua kisah drama cintaku pada mereka, apalagi kisah patah hatinya. Namun aku sudah menganggap mereka sahabat walau hanya sekitar delapan bulan kita menghabiskan waktu bersama. Sudah banyak cerita juga canda tawa yang terlukis dalam lembar kehidupan baru kita.

Aku masih bungkam.

“Kalau kau tak ingin memeberitahu semuanya, jawab saja siapa yang terakhir kali membuat kau patah hati.” Derry seakan ingin mendesakku seketika.

Aku masih diam.

“Apa susahnya sih jawab dengan satu nama saja!” Ada sedikit nada naik di ucapan Derry, entah mengapa hatiku terasa teriris di permukaannya. Atau mungkin ini efek kejut saja? Entahlah.

“Bima” Mataku menatap dua bola mata Derry dengan tajam, ada kata di dalam tatapanku yang mungkin berbunyi seperti ini ‘Puas kau?'

Derry memicingkan senyumnya “Oh, Bima? Iya? Ku bilang juga apa? Tak usah bermain hati dengan bajingan satu itu.”

Aku melotot padanya seakan tak terima dengan ucapan sinis dari mulutnya.

“Apa? Sekarang tau rasa kan?” Derry balik menatapku tajam sekaligus membuat hatiku jatuh oleh perkataannya.

Aku berdiri dari kursiku dan menggebrak meja kayu penuh amarah.

“Maksudmu apa bilang begitu?”
“Aku sudah pernah peringatkan padamu, tak usah dekat-dekat dengan anak itu.”
“Lalu kenapa jika aku dekat dengannya?”
“Masih nanya lagi, itu...kamu patah hati karena cowok playboy itu kan?”

Emosiku semakin membuncah, Derry masih saja mencecarku dengan penuh amarah.

“Hey, hey ini kenapa malah pada bertengkar sih?” Nita menepuk bahuku
“Der, tenang Der. Jangan marah-marah begitulah sama Rena.” Dipta juga mencoba meredam amarah Derry.

Aku menampik tangan Nita dari bahuku “Apa hakmu melarangku dengan siapa aku dekat, hah!” Emosiku masih bertahan di nadinya, rasanya tubuhku mulai menghangat dan kelopak mataku mulai berkaca-kaca. Aku menggebrak meja, amarahku kian buncah. Ada hak apa Derry marah-marah padaku seperti ini. Bukan karena kita selalu menghabiskan waktu bersama sebagai alasan, bagaimana pun persoalan cintaku, rasaku menjadi privasi untukku.

“Ternyata kau masih saja lemah Ren. Bukan hanya ragamu tapi hatimu juga.” Suara Derry mulai melemah atau bahkan penuh rasa kecewa di dalam sana. Ah, masa bodoh dengan ucapannya, kata-katanya bagai menyayat-nyayat hatiku saat itu juga.

Aku tak tahan lagi menahan tangis yang tak terbendung di kelopak mataku. Aku meninggalkan meja dimana kita bermain botol kejujuran. Rasanya tak ada lagi gairah untuk terus melanjutkan permainan itu. Nita mengejarku yang sedang menangis tersedu di taman belakang rumah Dipta.

“Ren, kamu nggak apa-apa?” Nita mencoba menenagkanku
“Jangan masukkan hati apa yang dikatakan Derry, mungkin karena ia kelelahan setelah seharian tadi menyelesaikan tugas. Sudah hampir tengah malam juga Ren, mungkin dia sudah mengantuk.”

“Tapi ya nggak gitu juga Nit, aku salah apa sama dia? Toh selama ini kita baik-baik aja kan. Apalagi bertengkar seperti ini.”
“Ren, maafin Derry ya. Mungkin dia sudah mengantuk.” Dipta juga menyusulku di taman belakang rumahnya

Aku masih menahan isakku “Kita sudah bermain permainan ini berkali-kali Dip tapi nggak pernah ucapan Derry semenyakitkan tadi.”

“Bukan kau saja yang merasakan sakit Ren jika kau tahu, aku pun juga sakit mengatakan hal yang menyakitkan itu kepadamu.” Derry bersandar pada pintu dengan menundukkan kepalanya

“Bukan kau saja yang patah hati ketika kau tersakiti oleh banyak laki-laki di luar sana tapi aku juga merasakannya. Aku sudah cukup senang mendengarkan kisah kasmaranmu dengan berbagai laki-laki tapi akhirnya kau tersakiti.”

Aku terkejut mendengar kata-kata Derry, Nita pun demikian. Namun aku tak melihat mimik terkejut pada raut wajah Dipta, ia malah tertunduk juga. Ada apa ini sebenarnya? Namun tak jua Derry melanjutkan kata-katanya, aku menoleh pada Dipta lagi akhirnya.

“Inilah saatnya Derry jujur padamu Ren, ia selalu menantikan permainan botol kejujuran ini di setiap kesempatanya. Derry pernah berkata padaku ‘percakapan dengannya selalu indah dan selalu ku tunggu datangnya’. Ketika ia akan berkata jujur pada hatinya untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan ketika botol itu menunjuknya untuk jujur tapi sayangnya ia harus diberi pertanyaan terlebih dahulu. Aku tak pernah berani mempertanyakan perasaannya padamu saat permainan itu, aku takut Derry belum siap untuk jujur tentang kebenaran hatinya.” Dipta menghampiri Derry yang nampak makin lesu di ambang pintu.

Derry berjalan menghampiriku, aku hanya beku.

“Aku sayang kamu Ren.” Ia meraih kedua tanganku dan menggenggamnya
“Aku sangat mencintaimu.”

Saat itu, jam tua yang besar di ruang tamu milik Dipta berdentang keras.
Menandakan bahwa semua jarumnya tepat bertengger di angka dua belas. Dan di angka dua belas pula ternyata ada cinta yang tulus dan nyata, ada cinta yang akhirnya terungkap juga.

RENA KHARISMA
TENTANG PENULIS:

PELAJAR/MAHASISWI
TWITTER: @kharismarena

loading...


EmoticonEmoticon