Elina

Elina

Tap, Tap, Tap

Aku mendengar derap langkah berbalut hak sepatu itu lagi, sayup-sayup dari arah tangga lantai dua semakin mendekat menuju ke ujung tangga paling bawah. Kala itu jam pelajaran sekolah telah usai dan aku heran ketika ruang guru sudah mulai sepi namun masih ada saja seorang guru yang baru saja menuruni tangga. Ya, aku hanya berpraduga saja langkah itu milik seorang guru karena bunyi tapakan hak sepatunya sungguh benar-benar dapat di dengar dengan jelas. Pertama kali aku mendengar derap langkah yang sama ketika aku sedang menuju ruang ekstrakulikuler di dekat kantin namun hanya sekilas saja ku dengar. Tapakannya masih sama, tegas dan tak terburu-buru.

*****

“Regi, sudah sarapan sayang?”
“Sudah ma, aku berangkat dulu ya.” Aku segera menghampiri mama yang berada di dapur kemudian mencium tangan mama sembari berpamitan berangkat ke sekolah.

Pagi ini ada sesuatu menggelitik benakku ketika dalam kayuhan sepedaku menuju sekolah aku mengingat kembali materi-materi yang ku pelajari semalam untuk mengikuti ulangan bahasa Inggris hari ini. Kelas akselerasi. Ya, entah mengapa pikiranku kembali menggebu akan keinginanku yang satu itu tapi apa daya aku telah berusaha dan hasilnya aku tak mendapatkan kesempatan mengecap kelas akselerasi pada waktu itu.

‘Hmmm...sekarang kawan-kawan akselerasi sudah berkuliah terlebih dahulu’

Aku menggumam sendiri, di sisi lain pikiranku pun ada sesuatu yang sangat aku kenali. Elina.
Gadis berparas mungil namun sangat ceria itu tiba-tiba menyeruak kembali di awan-awan pikiranku pagi ini. Aku selalu bersama-sama dengannya dulu, bersaing di kelas sepuluh dan dinobatkan sebagai murid teladan di sekolahku. Bagaimana kini kabarnya pun aku tak tahu? Aku rindu.

*****

Ah, melelahkan juga ternyata berpikir keras pada ulangan bahasa Inggris kali ini, memang cukup ku kuasi materi yang menjadi bahan uji tetapi membuat dialog dan cerita memerlukan imajinasi yang cukup konsentrasi. Elina. Lagi bayang tentangnya terbersit kembali di pikiranku, dia sangat pandai mengarang cerita juga merangkai puisi. Aku rindu.

Brruukk...

“Eh, sorry sorry.”
“Kamu kenapa sih Gi? Linglung gitu.”
“Maaf Den.” Entah mengapa kenangan bersama Elina sungguh mengusikku pagi ini, berterbangan kesana kemari sampai membuat jalanku pun tak tentu arah begini.

Krrriiiinnggg....

Bel sekolah berbunyi empat kali, tanda bahwa jam pelajaran telah usai. Aku heran, mengapa bel berbunyi satu jam lebih awal dari jam pulang sekolah biasanya.

“Gi, jangan ngelamun mulu’ ayo ganti baju sana. Kita latihan basket habis ini.”
“Kok udah pulang Gi?”
“Guru-guru ada rapat.” Jawab Dendi sembari berlalu dariku.

Aku segera menuju ruang ganti, tak ada semangat latihan basket hari ini. Elina. Mengapa hari ini kau begitu mengantui? Rinduku keterlaluan kali ini. Aku berjalan di koridor sekolah menuju lapangan basket. Tap tap tap...

Langkah kaki berhak itu kembali terdengar, kali ini aku penasaran. Ku tunggui di bawah ujung tangga terakhir ini, siapakah gerangan dua hari ini yang pemilik tapak kaki yang misterius ini. Derap langkahnya mulai mendekat, jantungku dag dig dug tak karuan. Semakin terdengar, semakin terasa getaran di hatiku, entah apa ini?

“Regi...”
           
Aku masih membisu, beku.

“Ah, Eregi yang ku cari-cari di sekolah ini.”

Aku terkejut bukan main kata ‘Eregi’ adalah kata yang digunakan Elina dalam setiap puisinya untuk mengganti kata elegi.

“Elina?”
“Apa kabar?Aku sudah mahasiswa Eregi”

Elina tersenyum padaku, dia nampak lebih dewasa meskipun tubuhnya masih mungil. Ada yang berbeda, ia terlihat lebih tinggi tenyata bantuan dari hak sepatunya. Oh, Elina senang melihatmu kemabali.

RENA KHARISMA
TENTANG PENULIS:

PELAJAR/MAHASISWI
TWITTER: @kharismarena

loading...


EmoticonEmoticon