Hampir setiap senja ku habiskan di jalanan. menikmati awan-awan yang terbakar di angkasa dan mematut-matut pola riaknya. Langit saat berwarna merah memancarkan energi yang membuat hati jadi bergejolak. Seperti riuh api di pemanggangan, jingga yang panas. Senja ini ku habiskan di tempat yang punya banyak cerita dan kenangan tentang seseorang. Sebut dia ‘abang’ yang ku temukan di ‘rumah’ kami, akunya dia seorang melankolis yang kadang arogan, dan aku membenarkan dua kata itu untuknya.
Cerita inipun kutujukan untuknya, abang yang membuatku belajar banyak tentang hidup, terlebih tentang mimpi dan modal untuk bermimpi. Aku yang sejatinya adalah gadis yang sendu (baca: senang duit) belajar banyak tentang mimpi yang tak terbelenggu oleh materi. Dia, abangku ini membagi banyak kisah yang membuatku belajar, bahagia tak hanya tentang uang. Seperti ceritanya padaku tentang tempatku berjalan senja ini. Hotel bintang lima (BASKO) dan sungai dekat banda bakali ini adalah saksi perjuangannya untuk bertahan dalam mimpi dan keyakinan pada mukjizat. Dan keyakinan itu absolut terbukti, menakjubkan.
Sebutlah sekarang aku ada dalam posisi sangat genting. Aku tak bisa meminta dan tak juga bisa menghasilkan sendiri, nasibku tergantung pada permainan mesin uang di bank yang menyimpan asupan hidupku tiap hari. Dan aku diberi harapan palsu dari hari ke hari sejak bulan lalu. Aku yang awalnya bisa berjalan tegak dan teguh, kini mulai merosot dan terseret-seret. Meski begitu, aku tahu Tuhan selalu menyelamatkan hidupku dari waktu ke waktu dengan cara tak terduga. Aku tahu, abangku itu juga demikian.
Tapi, kenangan yang kami dapatkan di tempat ini berbeda. Jika misalkan dia mendapat mukjizat kiriman Tuhan, aku malah harus menyadari bahwa bahaya yang mengintaiku tak pernah tidur. Berjalan sendiri di bawah lampu-lampu jalanan bisa menentramkan hati si gadis namun juga mengundang setan untuk beraksi. Ditengah gerimis jarang menjelang malam minggu, kenyamananku terusik dengan datangnya pengganggu dan aku harus lekas-lekas menyingkir agar selamat dari tipu muslihatnya. sekali lagi aku ingin mengeluh, “susahnya jadi seorang gadis”. Ckckck
Saat aku mulai dirasuki keputusasaan, aku mendengar suara-suara yang meneriakkan suatu tempat. Tempat itu adalah rumahku, tempat berteduh terhangat yang kupunya. Aku sempat tergoda untuk melarikan diri dari perjuangan ini dan pulang membawa kekalahan. Tapi, dalam khayalku tergambar seorang gadis menyedihkan yang saking pengecutnya rela membunuh harga dirinya dengan mengalah pada ujian. Lalu aku tersenyum miring, “dasar pecundang” kutukku pada diri sendiri. Kerinduan bisa saja membunuh mimpi, maka aku harus memenjarakan rasa rindu itu sampai waktunya boleh terbebas.
Kembali lagi pada si-abang, ini cerita tentang mimpi. Sebelumnya aku dilabeli pemimpi oleh seorang teman, dan sekarang aku juga ingin mengalungkan gelar itu padanya, “sang pemimpi” inilah yang membuatku berani bermimpi besar. Karena ia sering mencuap-cuapkan hal-hal besar dan jalan mimpinya terlihat nyata baginya. Aku mendengar mimpi itu setiap hari hingga akupun terkontaminasi. Jadilah aku ‘pemimpi part 2’ yang merangkai perjalananku dalam kantong mata yang semakin membengkak. Hahaha
“Kita akan bertemu dua tahun lagi di tepi sungai Seine Paris”, bagaimana kedengarannya janji ini bang?? Kita pernah mengucapkan janji serupa yang diselingi tawa yang berbungkus doa. Aku sampai nekat menuliskan ‘Aku harus ke London suatu hari nanti’ dan aku tak ingin menghapusnya dalam daftar mimpiku. Karena kau mengajariku banyak, saat ini jalan yang dibuatkan Tuhan untuk mimpi kita sedang disembunyikan di ujung pelangi. Ayo kita kejar pelangi itu sebelum gerimis malam minggu ini reda. :D
Aku punya alasan mengapa aku sangat mengagumi dandelion, bunga rumput ini mengajariku banyak seperti abangku itu. Dandelionku rapuh bahkan kalah oleh tiupan angin. Saat tercerabut dari pangkal mahkotanya, sang biji yang memiliki sayap mungil terbang sendiri dalam aliran angin. Sampai ia menemukan tempat untuk berlabuh, sayap rapuh itu akan tetap pasrah di terbangkan angin dan rela ditampar sekali-kali. Tapi demi melahirkan sebuah kehidupan baru, sayap ini rela lusuh dan luruh dalam badai. Karena ia yakin, tanah di depan sana jauh lebih hitam dan basah.
Kau, abang yang selamanya tak kan bisa ku raih. Tapi aku akan jadi ‘AKU’ yang hanya Tuhanlah yang bisa memagari impianku. Meski aku menitipkan mimpiku pada sayap dandelion yang rapuh. Aku percaya pada mukjizat. ‘Karena aku bisa jadi apa saja, selain menjadi Tuhan’. Maka caraku bergantung pada tangkai dandelion adalah dengan menjelmakan diri sebagai Tinkerbell.
MARDHOTILLA
TENTANG PENULIS:
MAHASISWI
WEBSITE/BLOG: mardhotilla.wordpress.com
MAHASISWI
WEBSITE/BLOG: mardhotilla.wordpress.com
loading...
EmoticonEmoticon