Potret Ibunda

Potret Ibunda

Gadis muda itu tersenyum manis dengan kuncir warna putih di rambutnya yang sebagian tergerai, kuncir yang sama ketika aku masih kecil dulu. Ia memakai kemeja warna putih tulang dengan juntaian bunga di sebelah kanannya nampak semakin membuat gadis ini cantik, lalu kakinya terbalut celana kain warna cokelat tua. Segala yang ia kenakan telah mengisyaratkan dari tahun berapa ia berasal. Ada yang membuat menarik lagi yaitu ia menggendong seorang bayi mungil yang amat lucu, sedang tertawa renyah dengan bebas. Lalu di samping kiri tangan gadis itu membawa payung berwarna putih. Aku menerka jika potret ini diambil ketika sedang hujan. Ya, hujan di malam hari karena background yang terpampang di belakangnya adalah hitam pekat.

Oh, itukah potret ibunda disaat ia muda dulu? Sungguh manis dan tak pernah terbayangkan olehku jika bayi mungil digendongannya itu adalah diriku. Aku yang sudah beranjak dewasa ini, mungkin hanya jarak beberapa tahun saja dengan gadis yang ada di dalam foto itu. Aku baru mengakui cerita bunda ketika ia menjadi rebutan banyak laki-laki pada zamannya, bunda memang sangat cantik bahkan melebihi kecantikanku sekarang ini. Bukan hanya parasnya yang dapat menarik perhatian para laki-laki di zaman itu aku kira namun juga keelokan hati yang bunda bawa kemana saja.

*****

“Ayah...segeralah pulang, aku sudah tidak punya apa-apa disini. Duh...Gusti berikan petunjukMu, anakku sudah tak bisa ku belikan bubur lagi.”

Dengan dua tangan didekap di dada bunda memperagakan tragedi ketika sedang kesusahan kala itu.

“Dan kamu tahu mbak, setelah berdoa seperti itu. Malam harinya ayah langsung pulang ke Surabaya padahal waktu itu sedang bekerja di Magetan. Mungkin memang sudah ada ikatan batin ya antara ibu dan ayah.”

Aku melihat ada sepenggal gambaran kisah disana, di mata bunda. Aku dapat membayangkan bagaimana situasi saat ibu dan aku berada di zaman yang sungguh sengsara.

“Bagaimana mbak, ibu juga nggak berani minta di saudara ayahmu bahkan orang tuanya. Mbak tau sendiri kan.”

Aku hanya mengangguk dan ku rasakan kelopak mataku sudah penuh dengan air yang segera jatuh dengan satu kedipan saja.

“Lalu apa yang terjadi Bun? Pasti bunda seneng banget ya ayah tiba-tiba pulang.”

Sebelum menimpali cerita bunda, aku berusaha menahan air mata yang segera jatuh beberapa detik saja. Akhirnya ku sahut boneka dan memeluknya erat hingga mukaku tak terlihat padahal aku sedang menyeka air mata yang tak ingin ku perlihatkan pada bunda.

“Iya mbak, ibu senang sekali waktu itu. Ayah mengajak ibu pergi berbelanja, beli bubur instan satu kardus buat kamu mbak.”

Aku ikut tersenyum menatap mata bundaku yang amat cerah itu menceritakan bahagia di tengah derita.

Ya, memang kehidupan keluargaku sungguh tak terduga. Dahulu kami sekeluarga bukan kumpulan dari orang-orang yang berharta bahkan berkecukupan saja tidak. Seperti cerita bunda tadi, untuk sekadar membeli bubur instan untuk bayi seumuranku pada saat itu saja susah. Aku benar-benar takjub jika sedang mendengarkan kisah-kisah dari bunda dan ayah saat kami sedang kesusahan dulu. Aku tak pernah menyesal berada di keluarga kecil ini, ikut berjuang bersama dalam kemiskinan yang dulu meronta pada keluargaku ini.

Kisah-kisah melankolis selalu saja bertebaran ketika aku dan ibu sedang membuka album-album foto yang belum usang cover ataupun kisah yang ada di dalamnya. Aku selalu menyukai foto ketika ibunda membawa payung di tangan kirinya dan menggendongku di sebelah kanannya. Terlihat kami berdua sungguh bahagia disana walau sebenarnya ada saja luka yang berhasil disembunyikan dengan tawa. Tetapi bukan sekadar potret dalam foto tersebut yang membuatku bangga, potret ibunda bukan sekadar yang tertera di dalam foto itu saja. Potret ibundaku adalah seorang yang pantang menyerah, meraung dan merobek tonggak-tonggak nestapa yang akan menghadangku saat itu juga. Potret ibundaku adalah tangan yang kuat bekerja demi keluarga namun tetap membelai mesra anak dan juga suaminya. Ya, itulah potret ibunda tersayang. Air mata dan goresan luka tak akan berakhir sia-sia. Terima kasih Ibunda, teruslah berjuang demi keluarga kecilmu ini aku akan setia mendampingi.

RENA KHARISMA
TENTANG PENULIS:

PELAJAR/MAHASISWI
TWITTER: @kharismarena

loading...


EmoticonEmoticon