Menikah itu nasib. Mencintai itu takdir. Kau bisa berencana menikahi siapa. Tapi tak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa. (Sujiwo Tejo)
Tentu saja aku terlalu muda untuk bicara soal pernikahan. Meskipun sudah banyak mengecap asam manisnya cinta, tetap saja jika ditanya mengenai pernikahan aku tak akan pernah mampu menjawab kapan kesiapanku. Membayangkan saja sedikit menyeramkan.
Cinta. Siapa sih yang tak pernah merasakannya. Cinta itu cerita yang tak akan pernah ada habisnya. Permbicaraan yang tak pernah asing di telinga setiap insan. Seseorang yang seumur hidupnya jomblo pasti pernah merasakan cinta. Sulit dijelaskan memang, tapi berpengaruh besar. Bisa membuat bahagia, tertawa, sedih, bahkan hingga gila.
Mungkin aku termasuk orang yang mengalami kategori terakhir. Gila. Agak berlebihan memang. Tapi aku selalu punya alasan.
Lima tahun. Bukan waktu yang singkat untuk sebuah perjalanan cinta. Dan di tahun kelima, ada rasa sesak yang harus kurasa, ada keketiran yang tak bisa kusembunyikan, ada bahagia karena kesetiaan, ada tangis karena takut kehilangan, dan ada keraguan yang harus aku pikirkan setiap detiknya.
Lima tahun. Suatu kebodohan jika aku bilang ini bukan cinta, ini hanya kekaguman yang keliru, ini hanya harapan yang tak terwujud hingga hari ini, hingga aku mengerti betapa dahsyat rasa kecewa ini.
Lima tahun. Terlalu munafik jika aku berkata aku pura-pura. Terlalu jahat jika harus pergi begitu saja. Sayangnya, terlalu sakit jika harus bertahan. Aku harus bertahan selama apa lagi. Aku harus menjadi sekuat apa lagi. Nyatanya, rasa ini hanya menyisakan sakit yang tiada arti.
Banyak orang bilang, jodoh itu cermin. Tapi lima tahun aku tidak seperti berkaca. Lima tahun aku seperti buronan. Aku lari mengikutinya, dia pun lari mengikutiku. Tapi tak pernah sampai. Tak pernah bertemu. Kita dua makhluk astral yang berbeda. Kamu ingin menjadi bintang. Tapi aku lebih suka bulan yang selalu sendirian. Kita dua makhluk ter-ambigu yang ku tahu. Aku lebih suka ini, kamu lebih suka itu.
Aku hampir muak dengan semua ini. Aku hampir benci. Dan yang paling menyakitkan adalah aku tak pernah bisa pergi. Aku tak pernah bisa memilih.
Aku seperti air laut. Yang diombang-ambing oleh angin.
Padahal aku ingin sekali menjadi karang. Yang tetap kokoh diterpa air, bahkan badai. Aku ingin seperti karang. Yang kuat menghadapi ombak sedahsyat apapun. Tapi inginku sekedar itu, sulit menajadi nyata.
Terima kasih. Atas lima tahun yang pernuh ketidak tahuanmu tentang aku. lima tahun yang penuh kepura-puraan. Lima tahun yang lari-lari berbalik arah. Yang ingin lepas bebas tapi terikat. Lima tahun yang tak pernah kau gunakan dengan sebaik-baiknya. Lima tahun yang kau sia-siakan untuk mengenalku lebih dalam. Lima tahun yang bahkan tak berbekas apapun selain kegilaan karena cinta.
Tentu saja aku bingung setengah mati. Aku ingin gila saja jika boleh. Aku ingin lupa ingatan saja jika mampu. Aku ingin pergi beserta kerelaanmu. Tolong bantu aku.
Untuk lima tahun yang sudah terjadi. Aku hanya ingin mengatakan satu hal.
Aku ingin pulang.
VERONICA LIZA OLIVIA
TENTANG PENULIS:
PELAJAR/MAHASISWI
WEBSITE/BLOG: lizaolivia.wordpress.com
PELAJAR/MAHASISWI
WEBSITE/BLOG: lizaolivia.wordpress.com
loading...
EmoticonEmoticon