Bagai debur ombak yang tak pernah menabrak karang, kini hatiku bebas tanpa harus kau halangi kemana ia berlabuh. Namun sama saja rasanya begitu sunyi saat ombakku tak pernah sekali pun menabrak karang cintamu.
“Rey, udah siap belum?”
“Ah iya, sudah kok.” Hatiku dag dig dug tak karuan sebentar lagi adalah waktuku
“Penampilan kedua dari seorang mahasiswa yang gemar sekali menulis puisi. Mari kita dengarkan salah satu hasil karyanya. Reyna...”
Tepuk tangan penonton pada acara malam itu begitu riuh rendah, aku sempat berlatih membaca puisiku di belakang panggung dan akhirnya melamun membayangkan ombak lautan yang kini sepi tanda dia. Ya, dia yang tiga tahun pernah mengisi masa-masa SMA ku. Ah, kini musnah sudah.
“Tenyata ombakku masih rindu pelukan pantaimu” Kembali tepuk tangan penonton membuyarkan penghayatan bacaan puisiku ketika bait terakhir telah sampai
“Wah, Kak Reyna menghayati sekali membaca puisinya sampai merinding saya. Puisinya untuk siapa kak?”
Entah mengapa serasa pertanyaan dari MC serasa menohok hatiku. “Eee..itu buat?”
“Buat pacarnya kakak ya?”
“Ah, enggak enggak.” Aku mengibaskan kedua tanganku berkali-kali
“Lalu, untuk siapa? Gebetan? Mantan?”
Tidak, mengapa MC ini begitu mencecar pertanyaan yang sungguh tak ingin ku jawab “Eee..itu buat.” Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal sambil malu-malu dihadapan penonton.
“Buat Al....”
Belum sempat aku menyebut nama yang hampir terlontar untuk siapa puisi ini ku buat tiba-tiba bola mataku melotot tak percaya juga degup jantungku berdegup cepat secara mendadak.
“Buat, ah bukan buat siapa-siapa.”
“Baiklah, nampaknya Kak Reyna tidak ingin memberitaukan kita semua siapa pujaan hatinya itu, tepuk tangan sekali lagi buat kak Reyna.”
Aku tak mendengar dengan seksama tepukan dari para penonton dan langsung melangkahkan kaki di belakang panggung.
“Rey, puisimu keren abislah pokoknya.”
Aku hanya terduduk di kursi yang aku temui begitu saja tanpa menghiraukan pujian dari Hanin dan raut mukanya yang seakan bangga memiliki sahabat sepertiku. Aku duduk diam, mimik mukaku layaknya ketakutan seperti melihat setan.
“Hey, Rey kamu kenapa sih? Diem aja.” Hanin menepuk pundakku
“Nin, itu di depan ada, ada...ayo pulang.” Aku menarik tangan Hanin dan segera menuju ke parkiran.
Padahal aku ingin sekali sampai larut malam mengikuti acara ini dan menyaksikan buku antologi puisiku diserbu para penonton. Tapi ku urungkan saja semuanya, sudah tak ada gairah.
“Rey,”
Langkahku dan Hanin terhenti. Aku tahu siapa pemilik tubuh di depanku itu tanpa harus melihat wajahnya.
“Aldi...” Hanin berteriak cukup keras dengan mimik muka terkejut.
“Maaf aku mau pulang.” Aku mencarikan jalan untuk langkah kakiku
“Tunggu Rey,” Pemilik tubuh itu menghalangiku lagi dan tangannya sempat menggenggam tanganku.
“Aku minta maaf, aku masih sayang kamu Rey.”
Ah,detik itu aku membeku. Selepas kau pergi Al, ombak rasaku selalu rindu pantaimu tapi kau tak pernah mau peduli setelah jarak pernah memisahkan kita. Kini kau kembali begitu saja setelah mengetahui jika semua puisi yang ada di bukuku itu untuk kamu? Tega kau Al.
RENA KHARISMA
TENTANG PENULIS:
PELAJAR/MAHASISWI
TWITTER: @kharismarena
PELAJAR/MAHASISWI
TWITTER: @kharismarena
loading...
EmoticonEmoticon