Koridor di kampus itu masih ramai dengan lalu lalang mahasiswa yang sedang sibuk dengan jam perkuliahan. Namun di salah satu sudut terduduk seorang gadis berkerudung hitam, dia tidak sedang membaca buku, tidak sedang mengerjakan tugas, tidak juga sibuk dengan handphonenya. Ia hanya terdiam saja, sesekali ia menarik napas panjang berkali-kali dan menghembuskannya panjang.
Angin kala itu memang begitu sepoinya, bisa membuat siapa saja yang menikmatinya tertidur di sembarang tempat. Namun tidak dengan gadis ini, matanya menerawang jauh. Entah bayangan mana yang ingin ia raih. “Apa kamu mau terus disana? Yang katamu itu menuntut ilmu bagi masa depan? Masa sekarang saja kita susah, mau makan apa besok kita masih mikir. Kamu malah ninggalin bapak sama adik-adikmu disini kelaparan, menghabiskan uang di tanah orang. Apa itu namanya seorang anak yang berbakti kepada orang tua?” Ucapan bapaknya masih terngiang-ngiang di benak gadis itu. Lalu, setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya.
Gadis itu mulai menangis sesenggukan setelah koridor itu mulai lengang. Pikirannya mengambang ke kampung halaman tapi impiannya masih terjerat disini. Ia ingin sekali menimba ilmu disini, lalu mengabdikan diri menjadi guru di desanya. Tapi ia dari keluarga tak berada, dari keluarga tak punya, dari keluarga yang tak memiliki biaya untuk menyekolahkannya tinggi-tinggi atau untuk mendapat gelar sarjana. Untuk sampai disini saja ia meronta-ronta padahal otaknya sangat bisa diandalkan. Suara bapaknya yang selalu menentang impiannya dan raut muka ibunya yang pasrah seakan menjadi cambuk yang pedih baginya saat ini. Ia bimbang kini, ia sudah bingung, penat di pikirannya, sesak di dadanya, dan beban dipundaknya, seakan menjadi momok pada keraguannya saat ini. Dua sisi yang sama-sama penting, dua sisi yang sama-sama mulia, ia ingin mengakhiri perjuangannya mencapai cita dan mengabdi pada orang tuanya di desa dengan melakukan apa saja. Menyiangi sawah, berjualan kemeja, atau bahkan dijodohkan dengan seorang pria. Apa saja ia akan terima. Namun hati kecilnya menolak diajak kembali, ia masih ingin berjuang disini untuk abdi mulia dan pengangkatan derajat keluarga.
Lalu ia beranjak pergi dari tempatnya bersemedi tanpa memiliki jawaban atas kecamuk hati. Ia meninggalkan koridor itu dengan isak tangis yang masih tersisa, ia pergi, mencari tempat tinggi. Mungkin ia akan menemukan jawaban atas teka-teki ini, mungkin di tempat tinggi itu ia dapat bertemu Tuhan dan menemukan jawaban. Tapaknya terasa berat tapi ia tetap melangkah. Setelah itu ia memejamkan mata dan menghela napas panjangnya sekali lagi. Gadis itu tersenyum, sepertinya ia sudah menemukan jawaban atas kerguannya. Ia meluncur, terjun. Dan mati.
Keraguan gadis itu terjawab sudah, ia tak lagi bimbang, tak lagi bingung. Ia mematikan semuanya, harapan, impian, dan beban. Tak lagi berjuang ataupun mengabdi, tak lagi pulang ke kampung halaman tapi ia memilih kembali pada sang Pencipta. Sirnalah sudah, ia pergi, gadis kerudung hitam itu sudah memilih, ia memilih untuk mati.

TENTANG PENULIS:
PELAJAR/MAHASISWI
TWITTER: @kharismarena
PELAJAR/MAHASISWI
TWITTER: @kharismarena
loading...
EmoticonEmoticon