Sinar mata itu seolah membuat sisi gelapku menjadi terang. Senyum di wajahnya membuatku merasa nyaman. Suara bassnya seolah terus menggema di dalam gendang telinga. Aku tidak menyangka, sosok itu ternyata begitu sempurna. Sosok seorang lelaki yang sudah hampir tiga bulan kukenal lewat jejaring sosial. Dia yang kukira tak akan pernah datang, ternyata telah menungguku sejak dua jam lalu. Aku mendadak merasa malu.
"Maaf, ya, telat."
Aku melihatnya tersenyum. Seolah memaklumi kesalahan fatalku di hari pertama kami bertemu. "Nggak apa-apa. Yang penting sekarang kamu udah di sini. Kita mau kemana dulu, nih?"
Aku berpikir sejenak. Kemarin, aku sempat bilang padanya kalau kami akan berjalan berkeliling taman di depan komplek rumahku. Tapi, rasa takut itu masih ada. Mungkin dia memang terlihat baik. Tapi, bukankah zaman sekarang tampang itu bisa menipu? Terlihat baik padahal memiliki niat yang busuk. Ah, aku mulai berburuk sangka lagi.
"Mau ke taman dulu aja?"
"Hm?" Aku agak terkejut. Sejujurnya, aku benar-benar takut untuk pergi ke taman berdua saja dengannya. Ya, baiklah, rasa khawatir ini memang tidak beralasan. Tapi, bukankah kita memang harus selalu waspada pada seseorang yang baru kita temui?
"Kok, malah bengong? Ayo."
Gerakan kepalanya seolah memintaku untuk segera duduk di jok belakang motornya. Aku menelan ludah. Dengan sedikit ragu, aku duduk di balik punggungnya. Kendaraan beroda dua ini pun melaju. Membawa kami ke sebuah taman yang rimbun.
Aneh. Aku belum pernah merasakan perasaan ini sebelumnya. Rasanya nyaman sekali. Nyaman yang tak bisa aku gambarkan dengan ungkapan-ungkapan manis atau romantis. Aku hanya bisa menikmatinya dalam diam. Tiba-tiba, senyum melingkar di bibir tipisku tanpa diminta.
***
Persis seperti dugaanku. Taman ini tampak lengang. Hanya ada beberapa ekor burung pipit yang berterbangan. Hinggap dari satu pohon ke pohon yang lain.
Ia menghentikan langkah kakinya tepat di depan sebuah bangku kayu. Lalu, ia menduduki bangku kayu itu. Aku mengikutinya. Duduk tepat di sampingnya. Kepalaku menoleh sesaat ke arah wajahnya. Matanya tengah menghadap lurus ke depan. Entah sedang melihat apa. Tapi, aku betah menatapi matanya yang berbinar itu.
Cepat-cepat aku memalingkan wajah ketika ia menoleh ke arahku. Sepertinya, ia menyadari kalau aku memperhatikannya sejak tadi. Ekor mataku menangkap sebuah senyum yang hangat dari bibirnya. Membuat kedua sudut bibirku ikut tertarik.
Senyum hangat itu menghapus semua ketakutanku. Menghilangkan rasa khawatirku yang sungguh tidak beralasan. Aku senang duduk di sampingnya sekarang.
Satu jam berlalu. Tak ada percakapan yang berarti di antara kami. Hanya sesekali saling menoleh dan tersenyum. Lalu, kembali larut dalam lamunan masing-masing. Menikmati dan meresapi embusan angin yang meniup lembut tubuh kami.
Tidak seperti saat kami hanya disatukan gelombang elektromagnetik. Kala itu, ada saja yang kami perbincangkan. Entah itu menertawakan lelucon yang sebenarnya tidak lucu, atau hanya sekadar mendongeng tentang kehidupan kuliahnya dan sekolahku yang benar-benar berbeda jauh. Tapi, perbedaan itulah yang justru membuat kami tertarik satu sama lain. Dan, memutuskan untuk bertemu hari ini.
Ya, mungkin hal seperti ini memang wajar terjadi. Mengingat, ini adalah pertemuan pertama kami. Aku sendiri merasa sangat canggung. Entah ia merasakan hal yang sama denganku atau tidak. Yang jelas, meski awalnya sempat dihantui rasa curiga yang berlebihan, tapi sekarang aku benar-benar senang. Sosoknya ternyata lebih sempurna dari yang telah aku bayangkan sebelumnya. Dan, ketakutan-ketakutanku ternyata tak terbukti. Dia seseorang yang baik.
***
Satu minggu berlalu sejak pertemuan pertama itu. Baru kali ini aku merasa risau. Kalau kata anak-anak gaul zaman sekarang, "Galau". Ya, aku galau. Dia tiba-tiba saja menghilang tanpa kabar. Tak ada telepon, SMS, email atau pun chatting. Dia menghilang tanpa jejak sejak kami memutuskan untuk pulang dari taman minggu lalu.
Setelah tiga bulan mengenalnya, dan hampir setiap hari kami saling terhubung lewat gelombang, rasanya aneh saat dia tiba-tiba saja menghilang seperti ini. Tidak ada yang mengucapkan selamat pagi ketika aku terbangun. Tidak ada yang mengingatkanku untuk makan siang. Tidak ada yang mengucapkan selamat malam dan mimpi indah ketika aku akan terlelap. Dan, tidak ada yang menanyakan aku sedang apa dan di mana. Baru kali ini aku merasakan perasaan aneh ini. Rasa rindu pada seorang asing yang bertemu di dunia maya.
Nomor ponsel miliknya tidak aktif selama seminggu ini. Emailku tak kunjung di balasnya. Baru kali ini aku benar-benar merasa gundah.
Ada hal yang belum sempat aku sampaikan padanya. Karena itu, aku mohon, jangan dulu akhiri cerita ini.
***
Hujan di luar mulai reda. Sayangnya, tidak untuk hujan yang bergemuruh di batinku. Aku membuka sebuah payung lipat. Berjalan di bawahnya diiringi hujan yang hanya tinggal rintik-rintik gerimisnya saja. Langkah kaki-kakiku terus menyusuri jalanan basah. Menuju taman di dekat komplek rumahku.
Sebuah payung bercorak kotak-kotak mengunci pandanganku. Aku menengali jaket coklat yang dipakai seseorang di bawahnya. Ia tengah berdiri di bawah sebuah pohon. Sayang, aku tidak bisa melihat wajahnya. Jadi, aku masih belum yakin dengan dugaanku. Diiringi rasa penasaran, aku berjalan mendekat ke arahnya.
Menyadari keberadaanku, sosok di bawah payung itu menoleh. Detak jantungku rasanya seperti ingin berhenti, tapi juga tak mau mati. Dada ini tiba-tiba terasa sesak oleh rasa bahagia yang buncah ketika mataku menangkap bayangannya. Itu dia. Orang yang aku tunggu-tunggu sejak seminggu yang lalu. Rasanya aku ingin bertanya dia kemana saja. Tapi, bibir ini mendadak terasa kelu.
"Aku nggak tahu ini kebetulan atau bukan. Tapi, mungkin ini memang saatnya aku mengatakan sesuatu sama kamu."
Dahiku mengernyit ketika aku mendengar kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Tanda tanya besar kemudian muncul. Seiring dengan jemarinya yang tiba-tiba menggamit jemariku.
"Aku senang banget bisa kenal sama kamu. Tapi, kayaknya kita nggak bisa lanjut lagi. Aku harus pergi."
Hujan yang semula kukira akan reda, ternyata malah kembali mengguyur dengan derasnya. Memukul-mukuli tanah tanpa ampun.
Hanya ada kata maaf yang kemudian terdengar diantara gemuruh hujan yang berbaur dengan angin. Ia lalu pergi tanpa alasan yang pasti. Seolah tertiup angin topan dan tak pernah kembali. Meninggalkanku bersama hujan yang entah kapan akan berhenti.
Aku masih berharap kisah yang begitu singkat ini belum berakhir. Karena masih ada hal yang belum sempat aku ungkapkan.
Pada kisah yang begitu singkat, izinkan aku berbisik pada angin dan gemericik air. Membisikan sebuah kalimat yang yang mungkin tak akan pernah ia dengar. Untuk dia, cinta pertamaku yang harus berlalu bersama waktu. Meski kisah ini teramat singkat, kenangan yang tersimpan mungkin akan teringat sepanjang zaman. Semoga, tak secepat kisah ini pula dia melupakan cerita ini. Melupakanku.

TENTANG PENULIS:
PELAJAR/ MAHASISWI
WEBSITE/BLOG: http://ligarwidyalestari.blogspot.com
Facebook: https://www.facebook.com/ligar.lestari
PELAJAR/ MAHASISWI
WEBSITE/BLOG: http://ligarwidyalestari.blogspot.com
Facebook: https://www.facebook.com/ligar.lestari
loading...
EmoticonEmoticon