Lima Menit Kemudian



Desau angin mengisyaratkan sesuatu pada bulu-bulu romaku yang dengan segera berdiri ketika ia lewat besama pandangan laki-laki yang berjalan dengan terburu-buru. Aku sudah melihatnya beberapa kali di koridor itu, selalu dengan mimik wajah yang tampak sendu juga derap langkahnya seakan memburu sesuatu. Tapi sayang aku tak mengenalnya, hanya saja ada sesuatu yang mendorongku untuk mengikuti langkah-langkahnya yang cepat itu. Aku menguntit dari balik punggungnya, ketika berpapasan dengan perempuan berseragam biru laut atau laki-laki berkacamata dengan jubah aku mencari tempat persembunyian yang aman namun ekor mataku tak lepas dari laki-laki yang ku ikuti. Ketika ku rasa aman dari dua makhluk yang selalu ada dalam gedung ini aku akan segera menapakkan kakiku dengan cepat, kembali membuntuti laki-laki tadi.

Dia melewati kantin, melewati ruang-ruang lain hingga sampai pada salah satu kamar dengan hiasan lukisan bunga teratai di atas pintu masuknya. Ketika aku mencoba mengintip dari luar pintu tiba-tiba “Hey mbak, kok keluar dari kamar? Apa ada yang diperlukan?” Perempuan dengan seragam biru laut itu menggagalkan misi rahasiaku. “Ah tidak suster, saya hanya ingin jalan-jalan saja. Bosan kalau harus di kamar saja.” Aku melemparkan senyum paling manis dan ekspresi pilu. “Hmm....baiknya kamu di kamar saja, perlu banyak istirahat. Mari saya antar.” Akhirnya aku harus menuruti kata-kata perempuan berseragam biru laut ini dan tak mengetahui siapa laki-laki yang membuatku penasaran tadi.

“Sudah ya mbak, obatnya sudah diminum kan. Tidur saja di kamar jangan jalan-jalan dulu. Mbak masih tampak pucat.”
“Iya sus, terima kasih.” Aku mengoper kembali senyuman manis lengkap dengan raut muka pilu.

Ya, aku Neina salah satu penghuni kamar di rumah sakit ini. Rumah sakit dengan bangunan zaman penjajahan Belanda dulu dan luasnya melebihi luas lahan yang ada di kampusku. Butuh seharian penuh untuk berhasil mengelilingi tiap jengkal tanah rumah sakit ini. Sudah dua minggu aku tercatat sebagai pasien disini. Entah penyakit apa yang bersarang yang ada di tubuhku sehingga harus berlama-lama tinggal di apartemen penuh obat ini. Pemeriksaan awal, aku divonis terkena penyakit tumor ringan yang bercukul di kelenjar tenggorokanku. Aku sangat terganggu waktu itu, tak bisa lagi bernyanyi dan tak bisa lagi menelan makanan tanpa rasa sakit. Akhirnya tumor tersebut diambil dengan jalan operasi namun setelah itu badanku demam tinggi dan rasanya tubuhku sering kejang-kejang di setiap malam. Mungkin aku hanya mengalami mimpi buruk hingga aku mengalami kejang-kejang seperti itu. Entahlah.

                            *****

“Nen, papa dan mama akan berangkat ke Ausi malam ini. Kamu baik-baik ya nak disini. Nanti Kak Ran akan menungguimu disini.” Papa mentapku dengan pandangan memelas.
“Cepet sembuh ya sayang.” Mama mengelus rambutku sembari mengecup keningku.
“Mama sama papa hati-hati ya.” Aku merasakan ada yang teriris di dalam tubuhku entah itu hati atau jantungku.
“Pasti sayang, kami berangkat dulu ya.” Mama memberikan senyum simpul dan tak sengaja aku menatap matanya yang tak mampu membendung aliran air mata.

Aku menghitung langkah kaki mama dan papa keluar dari pintu kamar sembari meratapi kepergian mereka dari balik punggungnya. Tiba-tiba ada hawa dingin menyergap tubuhku, rasanya benar-benar sunyi disini. Sunyi yang tak biasa, sunyi yang seakan menjemput kebahagiaan yang tak akan pernah datang lagi. Aku menatap keluar pintu kamar menyaksikan suster dan dokter lalu lalang juga keluarga pasien yang sama-sama menginap di rumah sakit ini. Sesaat kemudian aku melihat sosok laki-laki yang kuikuti kemarin melewati pintu kamarku. Masih dengan ekspresi yang sama. Buru-buru aku menyibakkan selimutku, aku usahakan kakiku melangkah meskipun kepalaku rasanya benar-benar pusing. Di dalam hati aku berkata, ‘aku akan mencari tahu apa yang ia lakukan disini.’

Langkah laki-laki itu semakin membuat degup jantungku berdetak, ia langkahkan kakinya menuju arah yang berbeda dengan kamar yang kemarin ia kunjungi. Sambil menahan beban berat di kepalaku aku teruskan saja langkah kakiku. Dari ruang poliklinik ia berbelok ke arah kanan kemudian melewati ruang bedah dan berakhir pada satu ruangan yang sepi dari pengunjung, Kamar Jenazah. Hatiku terasa mencelat saat itu juga, kakiku kini kaku. Aku mendengar rintihan dan isak tangis pemuda itu. Aku dapat melihat ada seorang dokter bersama satu suster mencoba menjelaskan apa yang  telah terjadi sampai merenggut nyawa orang yang ia kasihi. Ngeri rasa di hati ini.

                            *****

Tunggu, mengapa laki-laki itu kembali kesini setelah dua hari meninggalnya orang yang ia kasihi, apakah ada orang lain yang akan ia kunjungi. Tapi mengapa dua hari ini aku sama sekali tak melihatnya datang kembali. Aku kembali mengikutinya, mencoba mencari tahu apa yang akan ia lakukan kali ini di rumah sakit. Aku sampai pada ruang administrasi kemudia seorang suster mengantarkannya pergi ke salah satu ruangan dokter.

“Nen, kamu kok keluyuran lagi sih? Baru kakak tinggal sebentar malah kelayapan.”
“Duh, Kak Ran bikin kaget aja deh.”
“Ayo balik ke kamar, eh tunggu-tunggu hidung kamu.”

Aku melihat hidungku yang lubangnya sudah dihiasi cairan berwarna merah.

“Kamu mimisan Nen, ayo ayo balik ke kamar. Makanya kamu jangan keluyuran keluar kamar dulu.” Kak Ran memapahku kembali ke kamar dengan panik.

                            *****

Hari ini papa dan mamaku akan segera kembali dari Ausi dan aku masih tetap disini, di rumah sakit dengan obat-obatan yang tiada henti ku konsumsi. Terkadang ada teman-teman kampusku yang datang menjengukku juga menemaniku terapi. Aku tak habis pikir kenapa bisa selama ini aku disini tanpa mengetahui pasti apa penyakit yang ku derita ini.

Tentang pemuda yang rajin ku ikuti itu, ternyata dia adalah seorang mahasiswa di kampusku juga dan orang yang ia kasihi itu adalah adik perempuan satu-satunya yang meninggal karena kanker otak. Aku ngeri begitu mendengarkan cerita laki-laki itu. Sungguh miris.

Mungkin mama dan papa pulang malam ini karena mendengar kabar aku akan segera di operasi. Kak Ran juga tak pernah lengah menjagaku sampai jadwal operasiku tiba. Memang ku rasakan akhir-akhir ini kepalaku terasa sangat berat dan tubuhku begitu sangat lemah. Apakah mungkin penyakitku ini sudah terlanjur parah? Ah,entahlah...Sebenarnya aku ingin cepat-cepat pulang saja sudah rindu dengan kamarku yang lebih nyaman daripada kamar termahal di rumah sakit ini.

                            *****

Aku merasakan dingin yang teramat sangat dari sisi kanan,kiri,atas,bawah semuanya terasa sangat dingin. Aku mendengar kembali percakapanku dengan pemuda itu.

“Ya, aku dan adikku pun tak tahu tentang penyakit yang ia derita sampai pada fase terlambat akhirnya kita baru mengetahuinya. Adikku menderita penyakit kanker otak.  Baru seminggu di rumah sakit ia sudah tak bisa bertahan. Malam itu aku mengetahui ia mimisan dan lima menit kemudian ketika dokter akan melakukan tindakan ternyata ia sudah tiada.”

Setelah itu bayangan-bayangan teman-teman yang menjengukku juga menyeruak hadir menjadi bayang-bayang. Kemudian candaan Kak Ran serta pelukan hangat mama papaku tiba-tiba terasa di sekujur tubuhku. Namun semuanya tampak sulit lagi untuk ku rengkuh, sepanjang aku memandang hanya putih dan bercahaya. Lalu sekuat tenaga aku membuka mata. Terdengar sayup-sayup suara mama dan papa.

“Kamu sudah sadar sayang.”
“Neina, kamu yang kuat ya.” Tangan Kak Ran terasa begitu hangat menggenggam tanganku yang dingin.

Aku tersenyum kepada mereka, lima menit kemudian aku merasakan hangat di hidungku. Belum sempat ku lihat apa yang membuatnya hangat, seluruh tubuhku mengejang kemudian tubuhku pun kaku.

                            *****

RENA KHARISMA
TENTANG PENULIS:

PELAJAR/MAHASISWI
TWITTER: @kharismarena

loading...


EmoticonEmoticon