“Lalu menurutmu, menjadi cewek itu seperti apa?”
“Ya jadi selayaknya cewek.”
“Selayaknya cewek itu seperti apa?”
“Nggak terlalu, nggak berlebihan. Karena apapun yang berlebihan sekalipun itu hal baik.”
Alvi menerangkan jawabannya dengan panjang lebar bagaimana seharusnya seorang perempuan itu menjadi perempuan. Pertanyaan semacam itu tak hanya ku berikan kepada Alvi saja sebagai sudut pandang laki-laki. Aku sudah sering menanyakan pertanyaan ini kepada banyak orang yang menurutku dapat memberikan pendapatnya.
“Enak ya jadi cowok itu.”
Kalimat ini pun seringkali ku ujarkan pada banyak laki-laki yang ku temui. Tentu, bukankah memang seperti itu adanya? Bahwa menjadi seorang laki-laki itu lebih tak memiliki batas, tak sama seperti kaumku yang selalu memiliki banyak sekali batasan tetapi juga memiliki tanggungan yang berat. Bukankah dahulu kala perempuan diciptakan untuk melengkapi laki-laki namun juga sebagai penggodanya? Ada istilah bahwa laki-laki bisa dikhilafkan oleh harta, tahta, dan wanita. Ah, apapun itu lah. Aku benci dengan batasan aku selalu ingin kebebasan. Aku tak ingin menjadikan malam menjadi lawan tapi aku ingin malam menjadi kawan.
‘Emang cewek bisa apa?’ ‘Sekuat apa mereka?’ Pertanyaan itu mulai terngiang-ngiang di benakku semenjak pertama kali Alvan melontarkannya padaku. Ia juga salah satu kawan laki-laki yang pernah ku tanyai. Ia memang tak pernah berniatan meremehkan perempuan, ia juga mengakui kekuatan perempuan di sudut pandang selain fisik dan tenaga. ‘Kecuali cewek yang bisa bela diri, selain cewek yang memiliki kelebihan di sana dia sekuat apa ia?’ Itulah salah satu pengecualian yang Alvan berikan. Aku pikir aku telah berani menghadapi kerasnya hidup ini tetapi ternyata aku hanya menjadi seorang perempuan yang masih ‘sok’ berani, belum seratus persen menjadi berani. Karena tak hanya fisik lemah yang aku miliki namun jiwa rapuh pula yang bersemayam pada diri. Mungkin hanya tangis yang menjadi pelampiasan menjadi seorang perempuan jika terperosok oleh beban kehidupan, ya diambang kepasrahan.
‘Tapi aku bangga jadi laki-laki’ , itulah jawaban Danial saat aku pernah tanyakan pertanyaan yang sama. ‘Harusnya memang kita harus menerima kodrat yang telah Tuhan tentukan untuk kita umat manusia.’ Akhir dari percakapan kami, ia berkata demikian.
Apakah ini juga berhubungan dengan takdir? Apakah kodrat sama dengan takdir? Entahlah, tapi aku tak pernah mempercayai adanya takdir. Jawaban ‘karena takdir’ hanya menjadi jawaban bagi orang-orang yang putus asa untukku. Aku rasa keyakinan dari diri sendirilah yang mengilhami takdir ada. Lalu apakah dulu semenjak di kandungan ibuku aku pernah yakin menjadi perempuan? Sehingga aku ditakdirkan sebagai perempuan atau karena ibuku yakin bahwa aku ini adalah jabang bayi dengan jenis kelamin perempuan jika telah dilahirkan?
Aku tak pernah ingin menuliskan takdir diriku, aku tak berhak atas itu dan tak mempercayainya. Aku pikir yang benar-benar dapat menulis takdir adalah Tuhan, kita cukup merabanya, membacanya, membuka tulisan-tulisan takdir sekaligus keajaiban Tuhan yang diberikan kepada kita. Menurutku kita hanya bisa yakin untuk menjadikan takdir itu hadir.
RENA KHARISMA
TENTANG PENULIS:
PELAJAR/MAHASISWI
TWITTER: @kharismarena
PELAJAR/MAHASISWI
TWITTER: @kharismarena
loading...
EmoticonEmoticon