Bisa?



Fi, sudah lama sekali aku tak bercerita padamu. Tak seperti dulu.
Dulu kita suka berbagi, tepatnya aku. Ya, meski hanya di dalam mimpi.
Ah, sudahlah, aku tak mau mengingat betapa sudah sangat lama aku tak berbagi cerita padamu.

Fi, aku ingin bercerita sedikit padamu.
Aku mengingat, sudah satu bulan ini ada yang meraung-raung di telingaku.
Memekak telinga, membanjiri wajah.
Betapa dia yang meraung-raung di telingaku sangat mengganggu.
Aktifitasku terhambat. Tidurku jadi tak pernah nyenyak. Mimpiku tak pernah indah.
Nyeri. Sesak.

Aku pergi ketempat-tempat ramai, menghamburkan uang.
Aku juga rela mengurangi waktu tidurku demi memenuhi telinga dan kepalaku dengan dentuman suara musik yang keras agar dia yang meraung di telingaku pergi.
Tapi sialnya tak berhasil. Dia tetap ada. Lebih-lebih saat malam mulai menampakkan dirinya.
Maka sia-sialah upayaku mengusir dia yang meraung di telingaku selama ini, Fi.

Sampai kemudian aku bertemu seorang lelaki di sebuah restoran.
Aku tak mengenalnya persis. Tetapi dia memilih duduk di sebelahku.
Aku hanya melihatnya sekali dan malanjutkan menghabiskan makanan yang kupesan.
Saat aku hendak memasang headphone, dia memulai pembicaraan.
“Kenapa sendirian?” Begitulah pertanyaannya.
Aku hanya menjawab sekedarnya.

Sampai pada akhirnya dia meminta izin untuk bercerita padaku tentang dirinya.
Dia bercerita dengan begitu kidmat.
Dia menceritakan betapa hidupnya penuh kesedihan.
Aku memperhatikannya, matanya berkaca-kaca.
Satu jam lebih aku mendengarkan kisahnya tanpa pernah tau siapa namanya.

Dan tau kah kau bagian mana yang membuatku tersentak, Fi?
“Aku tak mengenal Tuhan. Aku tak mengenal Tuhan meski di dalam doa-doa panjangku.
Aku hanya mengenal kedua orang tuaku. Merekalah Tuhanku. Merekalah yang mampu merubah hidupku.”
Nafasku tercekat mendengar kalimat terakhir yang keluar dari bibirnya sebelum dia pamitan pergi.
Jantungku berdegup kencang.
Aku pulang kerumah terhuyung-huyung.
Terekam jelas di kepalaku kalimat terakhir yang keluar dari bibir lelaki itu.
Seharian aku memikirkannya.
Bagaimana mungkin dia bisa mengeluarkan kalimat seperti itu.
Tidakkan kau juga memikirkannya, Fi?
Bagaimana mungkin bisa dia tidak mengenal Tuhan?
Lalu kepada siapakah dia memanjatkan doa-doa nya yang panjang itu?


Hingga sampailah aku pada bagian, “Aku hanya mengenal orang tuaku. Merekalah Tuhanku.”
Aku pun mengingat kedua orang tuaku.
Sejujurnya aku tak pernah sedetail ini mengingat mereka.
Aku merasa sangat bahagia. Tak pernah sebetah ini dalam hal mengingat mereka.
Betapa saat itu aku ingin berteriak bahwa aku bahagia menjadi anak mereka.
Mereka memelukku dari jauh saat aku menenggelamkan kata-kata minta tolong.
Segalanya ada pada diri mereka.
Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri.
Kemana aku harus pulang ketika kelak mereka lelah membukakan pintu untukku?
Aku tak tau. Dan aku tak pernah tau.
Aku menangis, Fi.
Menangis saat sadar betapa tidak ada siapa-apapun yang akan rela melakukan segalanya demi melihat aku berhenti menangis selain mereka.
Orang tuaku.

Lalu mulailah aku bertanya-tanya, “bisakah Engkau sepeka orang tuaku, duhai Tuhan?”

Kemudian aku sadar, tak ada lagi yang meraung di telingaku, Fi.

MEL
TENTANG PENULIS:

MAHASISWI
AGE: UNKNOWN

loading...