Kumandang Senja



Deburan ombak di depan mataku selalu tampak bergemuruh, tak pernah sekalipun air lautnya tak menghantam bebatuan di batas pagar ini. Aku juga tak pernah menyaksikan ia tenang sedikit pun, mungkin hanya ketika malam ia terpekur karena tidur. Ah, tidak ombak ini tak pernah tidur, sama halnya dengan pendengaranku yang tak pernah uzur menyimak setiap nada-nada menenangkan di sekitar dermaga ini. Setiap fajar akan bermuara di ufuk barat aku akan selalu bergegas menyiapkan diri. Mandi sore, membersihkan rumah, juga menyirami bunga-bunga di bawah rumah pohon yang menjadi tempat bersemediku. Lalu dengan segera aku mengayuh sepeda hadiah ulang tahunku dari ayah yang ke tujuh belas tahun. Aku selalu mengayuhnya dengan santai dan menikmati sepoi angin yang menerpaku saat ini. Rambutku mengibas anggun sementara mulutku tak hentinya berdendang menyanyikan lagu suka cita atau bahkan sendu durja.

Setiap sore aku tak pernah absen mengunjungi dermaga ini, semenjak kapal dari kejauhan membawa ayahku di dalam peti dan menyuratkan aku kotak kecil yang ku namakan melodi. Kotak kecil itu seakan menjadi pengganti sosok ayah yang selalu ku nanti setiap senja datang di dermaga ini. Namun seberapa berharganya melodi tak pernah dapat memberiku benyak arti. Ya, sudah dua tahun ini rasa perih tak kunjung pergi, padahal setiap kapal yang ayah tumpangi untuk mencari rezeki selalu ku relakan untuk pergi. Walaupun aku tak tahu kapan kapal itu akan singgah kembali disini membawa serta ayahku untuk pulang.

Melodi selalu ku bawa setiap aku mengunjungi dermaga ini, dermaga ini pun tak pernah ku ketahui namanya. Aku tak peduli apapun namanya namun aku menikmati setiap senjanya meskipun dermaga ini juga yang menorehkan luka kecewa. Ayah selalu menyambutku disini, di balik batas pagar yang bertengger di atas bebatuan yang tak cukup kuat ini. Kini tak ada yang pernah ku sambut lagi, mungkin hanya senja yang mampu menggantikan rasa iri ketika anak-anak kecil bermain disini dan menemukan ayahnya kembali. Ah, sudahlah. Aku masih menggenggam melodi yang tak bermelodi lagi ini, menyimak suara yang selalu bergema di penghujung senja. Entah darimana asalnya aku hanya bisa menerka dan tak ingin ku temukan asal muaranya. Suarau itu yang menjadi pengganti nada melodi yang telah hilang, sudah sebulan yang lalu melodi tak bisa mengutarakan nadanya kembali. Sudah berusaha untuk ku perbaiki namun tak pernah dapat berbunyi lagi.

Lalu baru ku sadari bahwa ada kumandang senja yang merdu di sekitar dermaga ini, yang tak pernah berhenti sampai malam menenggelamkannya. Aku mendengarkannya dengan khidmat, mataku terpejam merenunginya. Seakan luka kehilangan atas ayah selalu luruh di setiap derai alunan nadanya. Mungkin itu suara seseorang sedang mengaji atau suara takbir yang tak ku kenali? Seperti aku tak tahu siapa yang mendendangkan suara yang mendamaikan hati ini.

Di suatu senja, aku kembali di dermaga ini. Aku menanti kumandang senja itu lagi, selalu seperti ini. Hingga Ramadhan tahun ini menyambangi. Ku tengok awan sedang bermendung tapi niatku untuk menikmati kumandang senja itu tak pernah urung. Ku kayuh sepedaku perlahan namun entah mengapa sore ini degup jantung seakan berirama lebih kencang. Rasanya ada sesuatu yang akan menghalang. Tapi hingga aku sampai di dermaga tak jua ku temui halangan. Aku menyaksikan lautan begitu pekat sore ini, fajar pun tak dapat ku lihat lagi karena aku tak mampu menyibak mendung yang terlanjur murung.


Aku tunggu suara yang damai itu walau angin menerpa begitu kalut membuat jantungku semakin kencang berdegup. Aku pandang jauh di pucuk lautan sana ada sebuah kapal, sepertinya kapal itu akan singgah di dermaga ini. Tiba-tiba gemuruh petir berkecamuk mengalahkan suara deru ombak disini. Seketika itu pula kenangan akan ayah menyeruak hadir memanggil-manggilku untuk larut di dalamnya. Aku meronta tak ingin mengingatnya, aku berusaha keluar dari luka kecewa yang kembali menganga. Aku ingin berlari meninggalkan dermaga ini, namun jajakan kaki seakan tak ingin beranjak masih menanti kumandang senja yang selalu bergema sebelum malam menenggelamkannya.

Tapi saat gerimis mulai mendera tubuhku dan guntur pun tak hentinya bergelegar mengacaukan ketenangan dalam diriku. Aku tak kunjung beranjak dari tempatku. Air langit mulai deras, aku mulai panik tapi tetap tak bisa berkutik. Hatiku seakan teriris-iris, kemana perginya kumandang senja itu? Kemana dendangan suara yang mendamaikan itu? Mengapa ia tak ada ketika aku sedang benar-benar membutuhkannya? Aku tak bisa lagi mendengar apa-apa ketika ku temukan kumandang senja itu begitu dekat di telinga. Aku mencarinya, ya aku mendengarnya, namun begitu lirih bukan dari pengeras suara lagi. Kumandang itu semakin dekat, seakan ia menghampiri. Tiba-tiba aku lunglai dan untuk pertama kalinya aku tahu siapa yang selalu menyuarakan kumandang senja itu saat aku jatuh di pelukannya.

RENA KHARISMA
TENTANG PENULIS:

PELAJAR/MAHASISWI
TWITTER: @kharismarena

loading...

2 komentar

menikmati angin sepoy3 enaknya pinggi jembatan...hkhkhkhk


EmoticonEmoticon