Egokah Aku?

Egokah Aku?

Aku merasa wanita paling beruntung di dunia karena Tuhan telah mempertemukanku dengan seorang pria yang sangat aku cintai. SANGAT. Aku juga merasakan dan percaya padanya bahwa dia juga sangat mencintaiku. Bahkan hatiku terenyuh ketika dia usil memintaku untuk sekedar bilang bahwa aku tidak akan meninggalkannya. Atau ketika dia bertanya apakah aku masih mencintainya. Tentu saja, tanpa berpikir panjang langsung kujawab, ya. Kadang–aku tidak tahu apakah karena terlalu besar rasa cinta ini–aku bahkan sangat sulit mengungkapkannya. Hanya dengan pria inilah, sangat sulit bagiku untuk mengutarakan perasaanku. Padahal di dalam hati ini sudah teriak “AKU SAYANG KAMUUU…!” Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya selain bilang “aku sayang kamu” dan saat aku menyatakan tiga kata itu terlihat sangat datar–jauh dari apa yang sebenarnya ada di hati ini. Kuharapa dia mengerti yang sebenarnya.

Apa yang aku rasakan bukan tanpa alasan. Enam bulan bersamanya menurutku bukan waktu yang singkat. Terlebih waktu yang setengah tahun itu belum pernah rasa bosan mengusik rasa cintaku untuknya. Apakah itu aku? Entahlah! Tapi aku yang dulu sangat berbeda ketika berhadapan dengan pria yang satu ini. Satu-dua bulan hubungan biasanya sudah menumbuhkan rasa bosanku. Maka dari itu aku tidak suka menjalin hubungan dengan laki-laki satu sekolah, satu kampus, apalagi dengan tetangga. Bahkan aku lebih suka memilih hubungan jarak jauh.

Tapi, dengan pria ini, sekali lagi aku katakan, sangat berbeda. Tak ada rasa bosan sedikit pun padanya hingga saat ini. Dia pria yang sangat berbeda :)
Meski begitu, ada sebuah ketakutan yang setengah mati aku hindari namun tetap tidak bisa. Aku takut kehilangan dia. Aku benar-benar tidak ingin kehilangan dia. Aku tahu ini egoku namun  ada ‘ego’ yang lain yang lebih kuat yakni ego Tuhan.

Maaf aku menyatakan seperti itu karena memang itulah kenyataannya. Tuhan memutuskan sesuatu hal tanpa berkompromi terlebih dahulu dengan makhluknya. Tak peduli apakah sudah ada kata “deal” di antara kedua belah pihak atau tidak. Yang pasti, “jadilah, maka akan terjadi”.

Ah, lupakan soal itu. Yang aku pikirkan adalah bagaimana aku bisa menghilangkan rasa takut ini. Aku ingin selalu bersamanya, menjadi wanita yang dia ingat selalu, yang dia sayang, yang dia pandang selalu meski saat ini hanya melalui foto-fotoku, wanita yang penting di hidupnya. Bukan sebaliknya! Bisakah aku memilih takdir itu? Takdir yang menurutku baik untukku? Hidup bersama laki-laki yang aku cintai saat ini, besok, dan seterusnya? Laki-laki yang selalu membuatku bertanya di dalam hati: apa kabar dia di sana, baik-baikkah dia? Laki-laki yang rasa cintaku padanya melebihi laki-laki yang pernah aku temui sebelum dia. Jika benar itu takdirku, mengapa tidak Kau kabulkan, Tuhan? Atau belum saatnya itu terkabul? Baiklah, akan kutunggu, asalkan dengan takdir yang itu. Bukan yang lain.

DILA NOVIA
TENTANG PENULIS:

PELAJAR/ MAHASISWI
WEBSITE/BLOG: tulisandila.wordpress.com
Twitter:@noviafrd
Instagram: https://instagram.com/dilanovia/

loading...


EmoticonEmoticon