Senasib Sepenanggungan

Senasib Sepenanggungan

“Oh ternyata kamu seperti itu ya selama ini.”
“Maksud kamu apa Din?”
“Udahlah La, nggak usah sok baik sekarang sama aku. Sudah kebongkar semua keburukanmu. Nggak ada kata sahabat lagi diantara kita.” Nadin meninggalkan Darla dengan sejuta tanda tanya di benak.

Sebenarnya apa yang terjadi diantara mereka Darla pun tak tahu. Padahal baru kemaren mereka menghabiskan waktu bersama. Kebanyakan memang Nadin yang curhat tentang kekasihnya tapi kemarin Nadin baru saja putus. Ia masih sangat teringat perkataan Nadin, “Aku nggak akan sedih sedih lagi karena putus cinta La, ada kamu yang selalu ada buat aku. Nggak guna nagisin laki laki. Ya nggak?” Kemudian Nadin tertawa renyah, saat itulah Darla merasa terenyuh dengan perkataan Nadin yang masih sangat kekanak kanakan itu.

Mereka bersahabat memang masih sekitar satu tahun ketika Ayah Nadin dipindahtugaskan dan ia sekeluarga harus tinggal di daerah baru. Darla bertemu Nadin ketika mereka ada dalam satu ruangan kursus bahasa Inggris. Tapi semenjak itu mereka seperti kakak beradik yang tak terpisahkan bahkan banyak teman mereka dan banyak orang mengatakan bahwa mereka kembar. Ada yang berkata “Kalau ada Nadin pasti ada Darla” dan sebaliknya.

******

Nadin tak percaya dengan kenyataan bahwa sahabat yang selalu mengalah untuknya itu ternyata menghianati dia. Nadin tak mau percaya memang tapi apa
yang didengarnya terlalu merobek hati dan menyulut emosi. Nadin diam di kamar, tugas tugas dari sekolah tak mampu ia kerjakan. Pikirannya melayang, ia tak ingin bertengkar dengan Darla.

“Nadin......Nadin....” bundanya menggedor pintu kamar tak sabar.
“Iya Bun.” Nadin membuka pintu kamar dan langsung terkejut ketika bundanya tergeletak di lantai sambil menangis histeris.
“Bun, bunda kenapa?”
“Din...Din....” Bundanya masih terisak.
“Bunda tenang dulu, ada apa?” Nadin mulai gelisah, ada perasaan tak enak meraup.
“Ayah Din, Ayah....”
“Ayah kenapa bun?”
“Ayahmu, ayah tertembak malam ini.”

Seketika, tubuh Nadin ikut lemas. Ia terkulai bersandar di dinding.

*****

“Ngapain kamu kesini? Puas lihat aku sedih?”
“Din, sedikit pun aku nggak pernah ada maksud nyakitin kamu. Apalagi senang lihat kamu bersedih.”
“Nggak usah alasan, pergi sana.”
“Aku cuma mau kasih ini, aku turut berduka cita atas ayahmu. Aku minta maaf jika aku banyak salah padamu.” Darla memberikan sebuah kaset VCD kemudian pergi.

Sebenarnya enggan untuk memutar dan melihat isi VCD itu tapi rasa penasaran Nadin tak dapat terbendung.

“Din, aku minta maaf jika ada salah ke kamu. Jujur aku nggak tahu sebenarnya yang terjadi diantara kita. Aku mencoba menelusuri apa yang salah dan ternyata aku tahu bahwa ada orang yang tak suka dengan persahabatan kita kemudian memfitnahku dengan berbicara tak sesungguhnya padamu. Aku benar benar tak pernah melakukan apa yang kau dengar dari orang orang itu Din. Aku sayang kamu, nggak tega dan nggak mungkin aku nyakitin perasaan kamu. Aku minta maaf. Aku berbela sungkawa atas kepergian ayahmu. Sepertinya kita senasib, ayahku juga turut tewas dalam baku tembak yang sama. Aku dengar ayahku sempat menyelamatkan ayahmu tapi mereka berdua mungkin sama sama ditakdirkan bersama di surga. Maafkan aku Din.”

Air mata Nadin berderai tak tertahan, penyesalan merasuki pembuluh darahnya. Dadanya sesak, sulit bernapas. Ternyata bukan hanya dia yang merasakan kepiluan, tetapi Darla juga. Mungkin mereka memang senasib sepenanggungan.

RENA KHARISMA
TENTANG PENULIS:

PELAJAR/MAHASISWI
TWITTER: @kharismarena

loading...


EmoticonEmoticon